Sampaikan kebohongan secara berulang-ulang, agar lama-kelamaan akan diterima sebagai kebenaran. Kira-kira demikian lah intisari ajaran Goebbels yang sukses dipraktekkan nya ketika menjadi penyokong utama kekuasaan Hitler di Jerman. Joseph Goebbels, ilmuwan dan salah satu tokoh ternama Nazi, memulai praktik propagandist nya itu dari "der angriff", majalah mingguan partai Nazi hingga menjadi tangan kanan Hitler.
Meski anti Nazi, bahkan sekedar menuliskan simbol Nazi saja adalah sebuah kejahatan di negara-negara Eropa, namun barat justru mengadopsi propaganda ala Goebbels untuk tujuan-tujuan ekonomi politik mereka di negara-negara dunia ketiga, baik dalam rangka merebut maupun mempertahankan pengaruh dan hegemoni ekonomi politiknya. Tanyakan hal ini pada negara-negara Amerika Selatan, seperti Bolivia, Brazil dan Venezuela, yang tiap helatan pemilu liberal tanpa henti diwarnai agenda politik Amerika.
Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir dipandang telah menggeser bandul kebijakan politiknya, dari ketaatan buta pada "tuan" neoliberal menjadi lebih unipolar, tak bisa mengelak dari "agresi" barat guna terwujudnya pergantian kekuasaan. Hanya bedanya, jika Saddam Husein yang "berkhianat" karena menginvasi Kuwait, digulingkan barat dengan agresi militer, sementara agenda menggulingan Jokowi nampaknya hendak mereka lakoni dengan jalan demokrasi yang memang telah sukses mereka tanamkan.
Pengambilalihan sejumlah blok migas, divestasi Freeport, tersendatnya negosiasi sejumlah blok lain serta derasnya investasi Tiongkok, nampaknya benar-benar membuat Amerika dan konco-konconya kebakaran jenggot. Mereka takut kehilangan "upeti terbesar dari timur" seperti yang diungkapkan Jeffrey Winters, sebagai konsekuensi pasca penggulingan Soekarno yang mereka sponsori. Upeti itu adalah sumber daya alam negeri kita yang dikapling-kapling untuk korporasi-korporasi transnasional yang menjadi "kapal keruk" mereka, diluar instrumen keuangan (hutang, impor, dst) dan politik (demokrasi liberal) yang mereka gunakan untuk mengendalikan hegemoni.
Sehingga mudah diduga, Amerika dan sekondan neo-imperialisnya, bakal habis-habisan mempertahankan pengaruhnya atas Indonesia, dengan cara mengganti kekuasaan politik yang dipandang telah "memunggungi" kepentingan mereka dengan mengusung sepasang "kadet kesayangan", seorang lulusan terbaik akademi pasukan khusus US military Port Bragg, Nort Carolina, serta jebolan hebat dari School of Business George Washington University sebagai penantang pada Pilpres 2019.
Selain mengusung kandidat, lewat berpuluh tahun hegemoni ekonomi-politik, tentu lah proxy Amerika cs telah tersebar di semua bidang, dari jenderal hingga intelektual kampus, dari pengusaha hingga politisi. Lingkaran tersebut, tentu telah dikonsolidasikan sedemikian rupa, sehingga semua bisa berperan serius dalam memuluskan agenda "sang tuan".
Baca Juga : https://outseen.wordpress.com/2017/05/16/19-prinsip-propaganda-goebbels/
Ruang publik kita, sejak tiga tahun terakhir telah menunjukkan betapa massifnya wabah propaganda, agitasi dan hasutan. Lihat lah media sosial dan media online, khususnya media abal-abal, yang demikian deras menyiarkan kabar bohong, informasi tak akurat dan agitatif. Hal yang sejatinya hanya menempatkan para pengguna media sosial, sekedar objek belaka, yang demikian mudah menyiarkan kabar tanpa rujukan fakta dan sumber berita ke group WhatsApp, Twitter, Facebook dan media sosial lainnya.
Simple bukan? Siapkan tim produksinya, pengaruhi sejumlah orang yang dianggap kredibel, lalu manifest propaganda ala Goebbels akan menjalar dengan sendirinya, dari komunitas ke komunitas, dari kampung ke kampung hingga ke seluruh polosok negeri. Bahan bakarnya? Kebencian adalah bahan bakar murah meriah, dan kebencian terbesar di alam bawah sadar mayoritas rakyat adalah komunisme, dominasi warga tionghoa, serta isu anti-Islam, agama mayoritas rakyat kita.
Pada skenario ini mudah ditebak, pendukung kuatnya adalah kelompok ekstrem yang mereka "kelola" selama ini, baik yang fundamentalis-radikal maupun intelektual liberal, dua kelompok dengan dua kasir namun sejatinya satu bandar. Hanya bedanya, yang satu sekedar untuk fungsi taktis, begitu kelar agenda akan segera diringkas ulang, sementara yang satu lagi adalah kawan strategis, terus diperankan menjadi tink tank dalam mengelola kepentingan barat pasca kemenangan. Tak cukup kah kisah pasca 65 dan 1998 menjadi ingatan bersama kita?
Memang amat disayangkan, jika pada akhirnya, tiga komponen terbesar bangsa, yaitu kelompok nasionalis sekuler, muslim moderat dan kalangan santri tradisionil, bisa terpengaruh oleh agenda besar ini. Agenda politik kapitalisme global dalam perebutan sumber daya alam dan pasar Indonesia yang dibalut dalam isu sempit melalui cara-cara propaganda dan agitasi, guna meng-eliminasi rasionalitas rakyat dalam pemilu April 2019 mendatang. Skenario yang sejatinya hanya akan menempatkan kita sekedar kayu bakar semata, untuk memasak hidangan yang tetap saja hanya menjadi santapan kuasa modal global yang dikendalikan Amerika dan sekundannya.
Indonesia adalah negeri merdeka, sehingga berkawan dengan negara manapun dengan prinsip berdaulat dan bermartabat adalah keniscayaan, namun berkawan dibawah dominasi dan hegemoni? Itu hanya bentuk lain penjajahan, bentuk baru kolonialisme, entah dengan barat, entah dengan Tiongkok atau lainnya.
Penulis adalah Ton Abdillah Has
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, periode 2010-2012
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
ReplyDeletehanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^